Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Penyakit zoonosis kerap ditemukan pada orang-orang yang beraktivitas dengan hewan liar. Cara penularan penyakit zoonosis dapat melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Penularan tidak langsung adalah melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi serta air sungai yang tercemar.
Bela Mariksa Ananda, Mahasiswa MMD UB Kelompok 596 memberikan sosialisasi terkait penyakit zoonosis dan pencegahannya kepada siswa kelas 5 sekolah dasar di MI Islamiyah Wongsorejo dan SDN 1 Wongsorejo.
Bela menjelaskan beberapa penyakit zoonosis yang umum menyerang anak usia sekolah.
1. Cacingan
Menurut Rahma, N (2020), hasil survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia dari beberapa provinsi di Indonesia didapatkan persentase kecacingan secara umum sebesar 40-60%. Dengan angka kejadian yang meningkat 30-90% pada usia anak sekolah. Usia 6-12 tahun merupakan usia yang sering mengalami kecacingan karena lebih sering berinteraksi dengan tanah.
Cacingan disebabkan oleh cacing yang masuk ke tubuh. Terdapat dua jenis cacing yang dapat menyebabkan cacingan, Strongyloides dapat menginfeksi melalui media tanah yang terkonaminasi telur cacing tersebut. Selain itu Strongyloides juga dapat mengontaminasi makanan dan minuman. Cacing Strongyloides pada umumnya menyebabkan gangguan pencernaan seperti mual, diare, sulit buang air besar, dan nyeri perut. Pada kondisi yang sangat parah cacingan yang disebabkan cacing Strongyloides dapat menyebabkan radang otak.
Schistosoma satu jenis cacing lain yang menyebabkan cacingan. Umumnya, cacing ini dapat menyerang melalui air. Umumnya, cacing ini menyebabkan gangguan saluran perkemihan yang dapat membuat penderitanya kencing berdarah.
Cacingan dapat dicegah dengan selalu menjaga kebersihan, menggunakan toilet yang tertutup dibanding dengan di tempat terbuka, dan meminum obat cacing enam bulan sekali.
2. Demam berdarah dengue (DBD)
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan, dari Januari hingga tanggal 30 April 2020, terdapat 49.931 jumlah kasus pasien DBD di seluruh wilayah Indonesia. Untuk usia 5-14 tahun, kasus DBD mencapai 29 persen.
DBD disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini memiliki garis belang pada bagian kakinya. Gejala klinis yang umum ditemukan pada penderita DBD adalah Demam, Sakit kepala, mual dan muntah. Gejala lainnya seperti nyeri perut, pegal, munculnya ruam, nyeri sendi, dan kejang ditemukan lebih sedikit. Nyeri perut, nyeri sendi, pegal, mual, dan muntah umumnya ditemukan pada orang dewasa, sedangkan munculnya ruam dan kejang umumnya ditemukan pada anak anak.

DBD dapat dicegah dengan melakukan gerakan 3M, yaitu menguras, menutup, dan mendaur ulang. Selain itu juga dapat menggunakan obat anti nyamuk agar menghindari gigitan nyamuk.
3. Scabies
Hasil survei didapatkan prevalensi skabies 25% pada orang dewasa, sedangkan prevalenssi tertinggi terjadi pada anak sekolah yaitu 30-65%.
Scabies atau yang biasa dikenal dengan kudis adalah penyakit dengan kondisi kulit bersisik, bentol-bentol, dan terasa gatal. Penyakit ini disebabkan oleh tungau bernama Sarcoptes scabiei. Scabies dapat ditularkan langsung oleh tungau kepada manusia. Scabies juga dapat ditularkan melalui handuk atau pakaian yang digunakan bersama dengan penderita scabies. Selain itu, penyakit ini juga dapat ditularkan melalui kucing yang menderita scabies.
Penyakit ini dapat dicegah dengan menghindari kontak langsung dengan penderita baik manusia maupun kucing. Rutin membersihkan barang-barang yang digunakan ke kulit serta hindari penggunaan barang secara bersamaan dengan orang lain, seperti handuk dan pakaian.
Penyakit zoonosis terjadi juga karena kurangnya kesadaran akan pola hidup bersih dan sehat di masyarakat. Masih kerap terjadi tidak mencuci tangan sebelum makan dan hal lain sebagainya. Dalam sosialisasinya, Bela memaparkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), yaitu rajin mencuci tangan dan makan makanan bergizi. (Ivan D.R.)
Referensi :
Ahmad, Z.F., Mongilong,N.S.,Kadir,S., Nurdin,S.S.I.,Moo,D.R. (2023). Perbandingan Manifestasi Klinis Penderita Demam Berdarah. Indonesian Journal of Pharmaceutical (e-Journal), 3(1), 143-154.